Logo Saibumi

Warga Way Dadi, Way Dadi Baru dan Korpri Jaya Tolak Kebijakan Bayar Lahan: “Bukan Pembeli, Kami Penghuni Turun-Temurun!”

Warga Way Dadi, Way Dadi Baru dan Korpri Jaya Tolak Kebijakan Bayar Lahan: “Bukan Pembeli, Kami Penghuni Turun-Temurun!”

Saibumi.com (SMSI), Bandar Lampung – Konflik agraria di kawasan Way Dadi, Way Dadi Baru, dan Korpri Jaya kembali memanas. Pemerintah Provinsi Lampung disebut meminta warga yang telah lama menempati wilayah tersebut untuk membayar Rp1,5 juta per meter persegi, sebagai syarat agar tidak digusur dari tanah yang selama ini mereka huni secara turun-temurun.

Tanah di tiga lokasi itu berstatus Hak Pengelolaan Lahan (HPL) milik Pemprov, namun warga mengklaim telah menempati dan membangun kehidupan di sana sejak puluhan tahun lalu, bahkan sebelum status hukum HPL diterbitkan.

“Warga diminta membayar Rp1,5 juta per meter kepada pemerintah. Kalau tidak, ada ancaman penggusuran. Ini bukan sekadar konflik tanah, ini bentuk kejahatan ekonomi yang merampas hak hidup warga,” kata Armin, salah satu tokoh masyarakat saat diwawancarai Saibumi.com, Minggu (3/8/2025).

BACA JUGA: Kecelakaan Akibat Ban Truk Lepas, Proses Ganti Rugi Mandek, Korban Tempuh Jalur Hukum

Ia menilai kebijakan tersebut bukan hanya tidak adil, tapi juga berpotensi melanggar hukum karena melibatkan penyalahgunaan kewenangan demi kepentingan ekonomi tertentu.

Menurutnya, kasus ini semestinya bisa dikaji dalam kerangka hukum tindak pidana korupsi, khususnya dalam konteks penyalahgunaan wewenang yang memperkaya pihak tertentu namun merugikan masyarakat luas.

“Pasal 3 UU Tipikor jelas. Menyalahgunakan kewenangan, memperkaya diri atau korporasi, dan merugikan perekonomian negara. Ini masuk semua. Masyarakat digusur, tanahnya dijual, lalu negara diam,” tegasnya.

Ia juga menekankan bahwa kerugian negara bukan hanya dalam bentuk keuangan, tetapi juga kehancuran sistem penghidupan masyarakat yang telah bergantung pada tanah tersebut selama bertahun-tahun.

Sejak 2019, warga telah melakukan berbagai upaya advokasi—dari audiensi dengan pemerintah hingga aksi damai—namun tak pernah mendapat dukungan kuat, baik dari lembaga negara maupun media arus utama.

“Media resmi diam. Media cetak dikendalikan. Kami mengirim rilis, aksi, laporan, tapi tak pernah muncul. Pemerintah daerah seolah tak mau masyarakat bersuara,” ujar salah satu perwakilan warga.

Pihaknya juga menyoroti kuatnya kepentingan politik dan tekanan aparat dalam penanganan konflik agraria di Lampung. Upaya mobilisasi massa sering dihadang oleh intimidasi dan pengawasan ketat.

“Sekarang ruang gerak makin sempit. Militerisasi terjadi. Intel menyebar. Mahasiswa pun takut. Padahal dulu mereka kekuatan utama gerakan rakyat,” ujarnya.

Ia menyebut kondisi ini mencerminkan bagaimana kekuasaan menggunakan instrumen negara untuk mengamankan kepentingan elite.

Meski dihadapkan pada berbagai tantangan, ia tetap menyuarakan optimisme akan kekuatan masyarakat sipil, media independen, dan generasi muda untuk mengangkat isu ini ke permukaan.

“Sekarang harapannya ada pada media online dan anak-anak muda yang tak punya beban politik. Mereka bisa jadi suara alternatif bagi perjuangan rakyat kecil,” pungkasnya.(Ade)

BACA JUGA: Kecelakaan Akibat Ban Truk Lepas, Proses Ganti Rugi Mandek, Korban Tempuh Jalur Hukum

Saibumi.com

merupakan portal berita Indonesia, media online Indonesia yang fokus kepada penyajian berbagai informasi mengenai berita online Indonesia baik dalam bentuk news (berita), views (artikel), foto, maupun video.

Newsletter Saibumi

BERLANGGANAN BERITA